watch sexy videos at nza-vids!
WWW.CERITAINDO.SEXTGEM.COM

Find us On Facebook and Twitter
facebook.jpg | twitter.jpg

Pembantu baru

Perkenalkan namaku Anthony, dan panggilan
akrabku adalah Anton. Aku berasal dari kota
Malang (Jawa Timur), dan kedua orang tuaku
masih tinggal di sana. Umurku baru 25 tahun,
dan saat ini sedang studi Master tahun terakhir di
Melbourne (Australia). Sejak lulus SMA aku
langsung kuliah S1 di Jakarta, dan sempat bekerja
selama setahun di Jakarta setelah lulus S1. Aku
mendapat sponsor dari orang tua untuk
melanjutkan pendidikan S2 di Australia. Aku
memilih kota Melbourne karena banyak teman-
temanku yang menetap di sana.
Di pertengahan bulan November 2004 adalah
awal dari liburan kuliah atau di Australia sering
disebut dengan Summer holiday (liburan musim
panas). Summer holiday di Australia biasanya
maksimum selama 3 bulan lamanya. Saat itu
adalah pertama kali aku pulang ke tanah air dari
studi luar negeri. Rindu sekali rasanya dengan
makanan tanah air, teman-teman, dan orang
tua.
Saat itu aku pulang dengan pesawat Singapore
Airlines dengan tujuan akhir Bandara Juanda,
Surabaya. Aku tiba di Surabaya sekitar pukul 11
pagi, dan terlihat supir utusan ayah sudah sejak
jam 10 pagi menunggu dengan sabar
kedatanganku. Ayah dan ibu tidak menjemputku
saat itu karena hari kedatanganku tidak jatuh
pada hari Sabtu atau Minggu, ditambah lagi
dengan macetnya lalu lintas akibat banjir lumpur
di kota Porong yang membuat mereka malas
untuk ikut menjemputku di bandara.
Wajah supirku sudah tidak asing lagi denganku,
karena supir kami ini sudah bekerja dengan ayah
sejak aku berumur 5 tahun. Dia sudah aku
anggap seperti pamanku sendiri. Aku sangat
menghormatinya meskipun pekerjaannya hanya
seorang supir.
Aku sempat mencari makan di kota Surabaya.
Tempat favoritku tetap di restoran kwee tiau
Apeng. Suasana restoran nampak tidak ramai,
mungkin masih pagi hari. Di malam hari
terutama di malam minggu, restoran ini akan
penuh dengan antrean panjang.
Seabis makan, aku meminta supirku untuk
langsung jos pulang ke Malang. Badanku terasa
letih sekali karena perjalanan yang panjang.
Sepanjang perjalanan kami menghabiskan waktu
mengobrol santai. Bahasa jawa supirku masih
terkesan medok sekali. Dahulu semasa sma,
bahasa jawaku juga lumayan medok. Tetapi
sejak kuliah di Jakarta, aku jarang memakai
bahasa jawaku, sehingga terkesan sedikit luntur.
Tapi setiap kata-kata jawa yang terucap oleh
supirku masih bisa aku mengerti 100%, hanya
saja aku membalasnya dengan separuh jawa
separuh bahasa Indo.
Kemacetan lalu lintas akibat banjir lumpur di kota
Porong sempat menyita perjalanan pulang kami.
Aku tiba di rumahku di kota Malang sekitar jam 4
sore. Sesampai di gerbang rumah, supirku
menekan klakson, memberi peringatan orang di
dalam rumah untuk membuka pintu gerbang.
Tak kurang dari 2 menit, pintu gerbang terbuka
dan aku membuka jendela mobilku memberi
sapaan hangat kepada bibiku. Bibiku yang satu
ini juga lama ikut dengan ayah dan ibu. Bibiku ini
bernama Tutik, dan sudah berumur sekitar 50
tahun lebih. Bibi Tutik jago sekali memasak
masakan Indonesia. Makanan bibi yang paling
aku rindukan selama aku kuliah di Jakarta dan
Melbourne. Aku sudah membuat daftar panjang
masakan Bibi Tutik selama 3 bulan liburan
musim panas ini.
Setelah bersalaman dan bercanda ria dengan Bibi
Tutik, tiba-tiba sosok gadis muda keluar dari
pintu rumah memberikan salam kepadaku. Aku
sempat tercengang oleh wajah cantik gadis yang
masih terasa asing bagiku. Ternyata gadis muda
ini adalah pembantu rumah yang baru, karena
pembantu sebelumnya telah menikah dan
pindah bersama suaminya. Aku menafsir bahwa
umur gadis ini sekitar 17 atau baru 18 tahun.
Setelah diperkenalkan oleh Bibi Tutik, pembantu
baruku ini bernama Yanti.
Yanti berperawakan sedang, sekitar 158 cm.
Kulitnya sawo matang. Matanya hitam dan lebar
sehingga tambak bersinar-sinar. Rambutnya
hitam sebahu. Besar payudaranya bisa aku
tafsirkan sekitar 32C. Pinggulnya mantap dan
kakinya mulus tanpa ada borok. Wajahnya
cantik berhidung mancung, hanya saja bibirnya
sedikit tebal. Tapi mungkin itu yang
membuatnya unik. Aku sempat tidak mengerti
mengapa ibu bisa menemukan pembantu
secantik ini.
Yanti membantuku membawa koper bagasiku
masuk, dan menanyakan diriku apakah ada
cucian atau pakaian kotor yang akan dicuci.
Sepertinya Yanti telah diberi info oleh ibuku
bahwa aku biasanya selalu membawa pakaian
kotor sewaktu pulang dari Jakarta. Jadi tidak
heran ibu bisa menduga bahwa aku pasti juga
membawa baju kotor pulang.
Aku unpack 2 koper dan memisah-misahkan
pakaian kotor dengan pakaian bersih, dan juga
menata rapi oleh-oleh dari Australia. Aku sudah
menyiapkan semua sovenir-sovenir untuk ayah,
ibu, bibi Tutik, supir ayah. Dan tentu saja oleh-
oleh yang pertamanya buat pembantu lama
yang kini sudah tidak bekerja lagi dengan kita,
saya berikan kepada Yanti. Ayah aku belikan topi
cowboy dari kulit kangguru. Menurutku cocok
untuk ayah, terutama disaat ayah sedang
berkunjung di kebun apelnya. Ibu aku belikan
kulit domba yang halus untuk hiasan lantai
kamarnya. Supir ayah aku belikan korek api
berlogokan kangguru dan kaos bergambarkan
benua Australia. Sedangkan bibi Tutik dan Yanti,
aku belikan 2 parfum lokal untuk setiap orang.
Yanti tampak hepi banget diberi oleh-oleh
parfum dariku. Aku memang sengaja memilih
parfum dengan botol yang unik, sehingga
terlihat sedikit mahal.
Ayah dan ibu pulang dari kantor sekitar jam 6
sore. Malam itu bibi Tutik aku minta untuk
memasak petai udang kecap favoritku. Aku
melepas rindu dengan ayah dan ibu. Kami
berbincang-bincang sampai larut malam. Tak
terasa kami telah berbincang-bincang sampai
jam 11 malam.
Kemudian aku berpamitan dengan ayah dan ibu.
Badanku sangat letih. Aku sudah hampir 36 jam
belum tidur. Aku tidak terbiasa tidur di dalam
pesawat.
Sewaktu aku hendak menuju ke kamar tidurku,
aku sempat berjalan berpas-pasan dengan Yanti.
Melihat aku hendak berpas-pasan dengannya,
Yanti langsung membungkukkan sedikit
badannya sambil berjalan. Mata kami tidak saling
memandang satu sama lain. Menurut tradisi
kami, tidak sopan pembantu bertatap pandang
dengan majikan saat berjalan berpas-pasan.
Malam itu, meskipun badan letih, aku masih
belum langsung tidur. Aku sedang melihat-lihat
photo-photoku dan teman-teman di Melbourne
di handphoneku. Aku sempat kangen sedikit
dengan Melbourne. Aku juga sempat berpikir
mengenai Yanti, dan penasaran sekali bagaimana
ibu bisa menemukan pembantu secantik Yanti.
Keesokan harinya aku bangun jam 10 pagi. Aku
sudah tidak ingat sudah berapa jam aku tidur.
Suasana rumah sedikit hening. Ayah dan ibu
sudah pasti balik ke kantor lagi. Aku memanggil-
manggil bibi Tutik, dan tidak ada jawaban
darinya. Tak lama kemudian Yanti muncul dari
kebun belakang.
“Nyo Anton wis mangan? (tuan muda Anton
sudah makan?)” tiba-tiba Yanti bertanya
memecahkan suasana hening di rumah. Istilah
‘Nyo’ adalah kependekan dari ‘Sinyo’ (bahasa
Belanda rancu) yang sering dipake di Jawa yang
artinya tuan muda.
Aku berusaha membalas pertanyaan Yanti
dengan bahasa Jawa. Tapi aku sudah tidak
terbiasa berbincang-bincang dengan 100%
bahasa Jawa.
“Durung, aku sek tas tangi kok. Mana bibi? Aku
sudah laper nih! (Belon, aku baru aja bangun
tidur. Mana bibi? Aku sudah lapar nih)” jawabku
separuh Jawa separuh Indo.
“Bibik melok nyonya. Ora ero budal nang endi.
Nyonya mau tetep pesen nang aku lek Nyo
Anton pengen tuku apo gawe mangan isuk (Bibi
ikut nyonya. Tidak tau pigi kemana. Nyonya tadi
titip pesan kepada saya kalo tuan Anton ingin beli
apa untuk makan pagi)” kata Yanti.
Pagi itu aku berharap bibi Tutik memasak
untukku. Tapi apa boleh buat, aku akhirnya
meminta Yanti untuk beli nasi pecel favoritku di
dekat rumah. Hanya sekitar 100 meter dari
rumahku. Setelah memberi uang kepadanya,
Yanti pun langsung segera berangkat.
Sambil menunggu Yanti kembali, aku
menyalakan TV sambil menonton acara-acara di
MetroTV, RCTI, Trans TV, dan lain-lain. Rindu
sekali aku dengan siaran-siaran televisi Indonesia.
Aku sudah tidak sabar untuk menonton acara
favoritku seperti Extravaganza, Empat Mata, dan
banyak pula yang lainnya.
Hanya sekitar 20 menit, Yanti telah kembali.
Sambil makan nasi pecel aku kembali menonton
TV, sedangkan Yanti juga kembali ke kebun
belakang kira-kira mencuci atau menjemur
pakaian.
Mataku sempat mencuri-curi pandang ke kebun
belakang. Terlihat wajahnya berkeringat karena
terik matahari. Seperti yang aku duga, Yanti
sedang menjemur pakaian. Aku merasa kasihan
terhadapnya, karena rata-rata pakaian yang
dijemurnya adalah milikku. Kulihat Yanti sedang
berjinjit-jinjit sambil menjemur pakaian. Kaos
yang dikenakan Yanti sedikit pendek, sehingga
aku bisa melihat perut dan pusarnya. Perut Yanti
ramping sekali. Payudaranya sedikit menonjol
kedepan. Aku sedikit bergairah melihat kelakuan
Yanti saat itu.
Aku menjadi tidak berkonsentrasi menonton TV,
mataku tetap melirik saja ke arah Yanti.
Tiba-tiba aku dikejutkan oleh suara bibi Tutik.
“Anton sek tas tangi?! Cek siange tangine. (Anton
baru bangun. Kok siang banget bangunnya)”
suara bibi Tutik membuyarkan semuanya.
“Bibi teko endi? Tak carik-carik mau. (Bibi dari
mana? Dari tadi aku cari-cari)” jawabku.
“Bibi sek tas melok nyonya nang pasar. Mari
ngono barengi nyonya nang omahe koncone
nyonya diluk. (Bibi tadi ikut nyonya ke pasar.
Setelah itu nemenin nyonya ke rumah temannya
sebentar)” jawab bibi.
“Anton gelem opo siang iki? Gelem sambel
lalapan Tutik? (Anton pengen apa siang ini?
Pengen sambel lalapan Tutik)” tanya bibi.
Maklum memang sambel lalapan bikinan bibi
Tutik tiada duanya. Makanya aku
menamakannya ‘Sambel Lalapan Tutik’. Aku
pernah berpikir untuk membuka depot khusus
masakan bibi Tutik. Mungkin suatu hari nanti
rencanaku ini bisa terwujud.
“Wuahhh … gelem bibi. Wis kangen aku mbek
sambel lalapan tutik. Goreng ikan pindang mbek
goreng tempe sisan yo. (Wuahhh … mau bibi.
Dah kangen aku ama sambel lalapan tutik.
Goreng ikan pindang dan goreng tempe juga
yah)” jawabku dengan girangnya.
Hari demi hari, waktuku hanya terbuang
menonton TV, makan masakan-masakan bibi
Tutik, dan jalan-jalan ama teman-teman lama.
Kadang-kadang aku berkunjung ke rumah
sodara ayah, sodara ibu, dan sepupu-sepupuku.
Lama kelamaan bahasa Jawaku kembali lagi
seperti yang dulu.
Sampai pada suatu hari, sekitar pertengahan
bulan December 2006 …
Sudah sebulan lamanya, aku hanya bisa
memandang sosok Yanti dari kejauhan. Semakin
banyak memandang, semakin tumbuh rasa
penasaran yang besar pula. Yanti tampak
semakin lama semakin cantik di mataku. Dan
maaf, kata-kata yang sebenarnya adalah Yanti
semakin membuatku bernafsu. Ingin sekali aku
memiliki dirinya, jiwa dan raganya. Aku seperti
kerasukan saat ini, tiap kali aku melihat Yanti,
otakku selalu terbayang-bayang dirinya saat
terlanjang.
Pada suatu hari, seingatku itu hari Jumat. Aku
bangun kesiangan, lewat jam 11 pagi. Kepalaku
pening karena bangun kesiangan. Kulihat
sekeliling, bibi Tutik sedang tidak ada di rumah.
Aku masa bodoh dengan keadaan sekitar yang
sunyi. Aku duduk di sofa empuk di ruang
keluarga, tapi kali ini aku tidak menyalakan tv.
Kudengar Yanti sedang di halaman belakang
seperti biasanya mencuci baju. Kali ini aku
memberanikan niatku untuk mendekati,
mungkin awalnya harus saling kenal dulu biar
akrab. Aku tidak pernah ngobrol santai dengan
Yanti selama ini, kebanyakan aku ngobrolnya
dengan bibi Tutik. Karena mungkin aku telah
dibesarkan juga oleh bibi Tutik, jadi apa saja bisa
nyambung bila ngobrol dengan bibi Tutik.
Aku beranjak dari sofa dan menuju halaman
belakang untuk mengajak Yanti ngobrol. Namun
hanya terhitung beberapa langkah dari pintu
belakang, aku terpeset dan terpelanting di
belakang. Bunyi ‘gubrakan’ tubuhku lumayan
keras, dan pinggangku sakitnya bukan main.
Yanti terkejut melihat tubuhku yang terpelanting
ke belakang. Aku meringis kesakitan, sambil
memegangi pinggangku yang sakitnya bukan
main.
“Nyo Anton … kok iso moro-moro tibo? … (tuan
muda Anton … kok bisa tiba-tiba jatuh? …)” tanya
Yanti panik.
Aku hanya bisa meringis sambil menunjuk lantai
yang masih basah.
“Lahh … nyo Anton mosok ora ketok lek tehel’e
sek basa ngono … endi seng loro? … (lah … tuan
muda Anton masa ngga liat kalo lantainya masih
basah … mana yang sakit? …)” tanya Yanti sekali
lagi.
Aku hanya bisanya meringis sambil memegang
pinggulku yang masih saja sakit.
“Mlebu sek nyo Anton … tak urut’e cekno
mendingan … longgo’o ndek sofa sek … Yanti
golek obat urut ndek kamar nyonya? … (masuk
dulu tuan muda Anton … aku urut biar
mendingan … duduk saja di sofa … Yanti cari
obat urut di kamar nyonya? …)” pinta Yanti.
Aku menurut saja dengan permintaan Yanti. Aku
baringkan tubuhku di atas sofa empuk. Tak lama
kemudian Yanti kembali sambil membawa
minyak tawon. Dia memintaku berbaring
dengan posisi telungkup, dan menyuruhku
membuka setengah pakaian atasku. Saat ini aku
ngga ada pikiran apa-apa, karena aku masih
berkonsentrasi membuang rasa sakit di
pinggangku.
Yanti terus mengurut-urut pinggangku yang
sakit lumayan lama, dan sekali-kali memijatnya.
Aku akui pijatan dan urutan Yanti terasa nikmat,
sehingga perlahan-lahan rasa sakitnya mulai
menghilang. Ternyata pertolongan pertama
yang ditawarkan Yanti sangat ampuh.
Kini rasa sakit di pinggangku perlahan-lahan
membaik, meskipun masih ada sedikit rasa sakit.
Namun rasa nikmat pijatan dan urutan Yanti
membuat akal sehatku mati. Aku kemudian
timbul rencana lain di dalam otakku.
“Yanti … ora enak iki ndek sofa … nang jero
kamarku wae … ndek sofa iki kudu arep melorot
wae badanku … (Yanti … kagak enak nih di atas
sofa … di dalam kamarku aja … di atas sofa
seperti yang mau melorot saja badanku …)”
pintaku.
Yanti hanya mengangguk pertanda setuju.
Kemudian aku menuju ke kamarku. Yanti
memintaku untuk menunggu di kamar dulu, dia
mau menyelesaikan jemuran baju dulu, karena
tanggung.
Di dalam kamar, otak kotorku sedang
merencanakan taktik bagaimana mendapatkan
tubuh Yanti. Segala cara dan taktik telat aku
pikirkan, dan banyak sekali yang ada di otak ini.
Selang beberapa saat Yanti mengetok pintu
kamarku, dan aku menyambutnya dengan
gembira.
“Yanti, bibik Tutik nyang endi? Teko omah jam
piro jerene? (Yanti, bibi Tutik pergi mana? Jam
berapa nanti pulang katanya?)” tanyaku.
“Bibik ono urusan’e, ketokan’e sesok jange teko
omah maneh. Koyok’e urusan penting. (Bibi ada
urusan, keliatannya besok baru pulang rumah
lagi. Kayaknya urusan penting)” jawab Yanti.
Mendengar jawaban Yanti tersebut, aku
girangnya bukan main. Berarti hanya aku dan
Yanti saja yang ada di rumah saat ini. Papa/
Mama pasti sedang di kantor, dan biasanya
mereka baru pulang sekitar jam 6 sore, dan ini
masih baru jam 12 siang lewat. Aku mencium
bau kemenangan.
“Yanti, pinggangku sek rodo loro … tolong
uruten maneh yo … urutan-mu uenak tenan …
ora kalah mbek pijetan’e sing wis mahir (Yanti,
pinggangku masih rada sakit nih … tolong diurut
lagi yah … urutan-mu enak banget … kagak kalah
ama pijetan professional)” kataku sambil
memujinya.
“Nyo Anton iki ono-ono wae … iki sing pertama
Yanti mijetin wong liyo … ora ono pengalaman’e
(tuan muda Anton ini ada-ada aja … ini baru
pertama kali Yanti pijitin orang lain … masih
belon ada pengalaman)” tundas Yanti.
“Walah walah … sing pertama wae wes hebat …
pasti Yanti pisan hebat ndek bidang liyo (walah
walah … yang pertama kali aja sudah hebat …
pasti Yanti ada kehebatan di bidang lain) pujiku
sekali lagi.
“Nyo Anton iso wae seh … (tuan muda Anton
bisa aja sih)” jawab Yanti singkat.
“Yanti ojok jeluk aku nganggo jeneng ‘nyo’ …
koyok cah cilik wae … jeluk nganggo jeneng mas
Anton wae … (Yanti jangan panggil aku dengan
nama ‘nyo’ … kayak anak kecil aja … panggil mas
Anton aja)” pintaku. Yanti hanya menganggu
tanda setuju.
Suasana kamar sempat hening, hanya terdengar
bunyi napas Yanti yang sedang asyik mengurut
pinggangku. Tiba-tiba Yanti bertanya “Wes
mendingan saiki mas Anton? (Dah mendingan
sekarang mas Anton)”.
Otakku langsung merespon pertanyaan Yanti
dengan cepatnya. “Pinggangku wes mendingan,
tapi roso-roso’ne pokangku rodo linu. Coba’en
diurut pisan pokangku. (Pinggangku sudah
mendingan, tapi rasanya pahaku rada linu. Coba
diurut juga pahaku)” jawabku ngawur tapi
mengena.
Tanpa protes atau bertanya Yanti langsung
mengurut pahaku. Pertama-tama paha kananku
kemudian paha kiriku, saling bergantian. Posisi
tubuhku kini terlentang, sehingga setiap urutan-
urutan yang diberikan Yanti sangat terasa
nikmat. Ada sesuatu yang mengganjal di dalam
celana dalamku, ingin berdiri saja maunya. Yah
singkat kata, batang tongkolku dah dari tadi ingin
sekali berdiri, tapi masih tertahan oleh celana
dalamku.
Setelah selang beberapa saat, dengan tanpa
malu-malu, tanpa basa-basi, dan dengan pasang
muka beton, aku mulai memberanikan diri.
“Yanti, saiki pokangku wis ora linu maneh, tapi
saiki endokku dadi rodo linu. Koyok’e nyambung
teko pokang. Tolong sisan, tapi dielus-elus
endokku lek ora keberatan. (Yanti, sekarang
pahaku dah ngga linu lagi, tapi sekarang buah
zakarku jadi rada linu. Kayaknya nyambung dari
paha deh. Tolong juga, tapi dielus-elus saja buah
zakarku kalo ngga keberatan.)”, pintaku tidak tau
diri.
Yanti sempat terhenti, dan bengong aja melihat
tingkah polahku yang tidak tau diri itu. Di raut
wajahnya tidak tampak seperti protes atau
marah, melainkan seperti kaget dan bengong
seakan-akan bertanya-tanya.
“Kok iso linu endok’e mas Anton … emange
endok’e mas Anton melok kepleset? (Kok bisa
linu buah zakar mas Anton … emangnya buah
zakar mas Anton ikut terpeleset?)” tanya Yanti
lugu.
“Yah, koyok’e ngono. (Yah, kayaknya begitu)”
jawabku singkat.
Tanpa banyak tanya lagi, Yanti perlahan-lahan
mulai mengelus-elus buah zakarku dari luar
celanaku. Rasanya tidak begitu nikmat, tapi ada
getaran napsu yang muncul dari otakku.
“Uenak mas Anton? (Enak mas Anton?)” tanya
Yanti. Aku menjawab dengan mengeleng-
gelengkan kepalaku pertanda tidak enak.
“Yo opo sek uenak? (Trus gimana yang enak?)”
tanya Yanti lagi.
Aku berpikir sejenak, kemudian aku perolotin
celanaku berserta celana dalamku. Serentak
melihat gelagatku, Yanti kaget bukan main dan
secara reflek memejamkan matanya.
“Mas Antonnn … lopo kok mlorotin katok … ora
ono acara’ne ngomong dhisik … (Mas Antonnn
… kenapa kok melorotin celana … tanpa ada
acara ngomong lagi)” protes Yanti dengan
matanya yang masih terpejam.
“Loh, Yanti sek tas mau takok yok opo cekno
uenak … lah ya aku plorotin wae katok’e … cekno
uenak elus-elusan’e (Lho, Yanti tadi tanya gimana
caranya biar enak … yah aku lepas saja
celananya … biar enak elus-elusannya)” jawabku
menyakinkan Yanti.
Yanti masih tetap memejamkan matanya, tapi
tangannya mencoba meraba-raba pahaku
mencari buah zakarku lagi. Setelah mendapatkan
buah zakarku, Yanti kembali mengelus-elusnya
lagi. Kali ini … alamak … enak banget. Terasa
lembut sekali tangan Yanti. Serentak saja, batang
penisku langsung tegak dan mengeras.
“Lah … opo iki mas Anton … kok atos soro? (Lho
… apa ini mas Anton … kok keras banget?)” tanya
Yanti heran dengan mata sambil terpejam.
“Yo delok’en wae Yanti … buka’en moto-mu
cekno weruh … ora bahaya kok (Yah liat aja Yanti
… buka dulu matanya biar tau … ngga bahaya
kok)” jawabku dengan jantungku berdegup-
degup kencang.
Perlahan-lahan Yanti membuka matanya, dan
langsung terbelak kedua matanya sambil
terheran-heran.
“Lah … manuk’e mas Anton kok iso ngaceng
koyok ngono … linu sisan tah? (Lho … burung
mas Anton kok bisa tegang kayak gitu … linu
juga tah?)” tanya Yanti lugu.
“Iki jeneng’e manukku ‘happy’ alias seneng …
soale endok’e dielus-elus wong wedok sing ayu
kayak Yanti (Ini namanya burungku ‘happy’ alias
senang … soalnya buah zakarnya dielus-elus
wanita cantik kayak Yanti)” kataku mulai merayu.
“Mas Anton iki … (Mas Anton ini …)” kata-katanya
terputus dan terlihat wajah Yanti yang malu-
malu atas pujianku itu. Yanti ternyata masih lugu
dalam hal beginian, membuatku semakin yakin
kalo Yanti ini masih ting-ting alias perawan.
Tanpa disuruh olehku, Yanti mulai mengelus-
elus batang penisku dengan lembut, kadang-
kadang mengurut-urutnya. Tak karuan rasa,
semakin dielus, semakin tegang dan tegak
berdiri. Yanti dari tadi senyum-senyum saja, dan
tampak wajahnya yang masih malu-malu.
Setelah lama dielus-elus oleh Yanti batang
penisku berserta buah zakarnya, aku ingin
melaju di langkah berikutnya. Aku semakin
berani dan tidak sungkan-sungkan lagi. Sambil
berbaring kutatap wajah cantik dan manis Yanti.
“Yanti …” kataku.“Emmm …” jawab Yanti singkat.
“Saiki gantian yo … (Sekarang gantian yah)”
kataku.
“Gantian yo opo? (Gantian gimana?)” tanya Yanti.
“Hmmm … ngene … saiki gantian aku … teko
mau Yanti wis delok manukku mbek endokku …
sek dielus-elus maneh … saiki gantian aku seng
delok tempik’e Yanti (Hmmm … gini … sekarang
gantian aku … dari tadi Yanti dah liat burungku
ama buah zakarku … dan dielus-elus lagi …
sekarang gantian aku yang liat memiaw Yanti”
kataku tanpa basa-basi.
“Emoh mas Anton … isin aku … ojok mas Anton
… (Ngga mau mas Anton … malu aku … jangan
mas Anton)” tolak Yanti.
Penolakan Yanti yang setengah hati itu
membuatku makin penasaran dan makin
bernapsu. Aku beranjak dari ranjang, dan
memaksa lembut Yanti untuk merebahkan
tubuhnya di atas ranjangku. Setelah berhasil
merebahkan tubuhnya Yanti langsung bertanya.
“Mas Antonnn … kate diapakno aku? (Mas
Antonnn … mau diapain aku?)” tanya Yanti
pasrah.
“Menengo wae Yanti … ora aku apak-apak’no kok
… mek arep delok tempik’e Yanti … ora adil lek
teko mau manukku tok seng didelok (Diam aja
Yanti … ngga bakalan aku apa-apain kok ..
cuman pengen liat memiaw Yanti aja …ngga adil
kalo dari tadi burungku saja yang diliat)” kataku
bohong. Padahal dibalik benakku banyak hal
yang aku ingin lakukan terhadap Yanti, terutama
terhadap tubuhnya.
Aku sekap roknya, dan aku tarik celana dalam
dibalik roknya. Yanti berusaha menahannya, tapi
usahanya sia-sia, karena dia menahannya
dengan setengah hati alias tidak dengan sekuat
tenaga. Kelakuan Yanti ini seperti lampu hijau
untukku. Seakan-akan pasrah saja mau diapain
olehku.
Setelah berhasil melepas celana dalamnya, aku
tarik roknya ke atas perutnya, agar supaya aku
bisa melihat jelas memiawnya. Secara reflek
Yanti menutup memiawnya dengan tangannya.
“Wes mas Antonnn … isin tenan aku … (Udahan
mas Antonnn … malu banget aku …)” kata Yanti.
“Durung Yanti … ojok mbok ditutupi tok tempik’e
… ora ketokan … (Belon Yanti … jangan ditutup
terus dong memiawnya … ngga keliatan)” kataku
protes.
Aku kemudian tarik tangannya yang sedang
menutupi memiawnya. Yanti langsung menutup
mukanya dengan kedua tangannya, dan kedua
pahanya menyilang. Yanti masih terus berusaha
menyembunyikan memiawnya dariku. Bisa aku
maklumi perasaan malu yang sedang Yanti
alami. Aku mencoba merayu dan menyakinkan
Yanti apa adanya.
“Ojok isin-isin Yanti … ora ono sing ndelok kok …
men aku tok wae … (Jangan malu-malu Yanti …
ngga ada siapa-siapa yang bisa liat kok … cuman
ada aku saja …)” rayuku lagi.
Kini Yanti mulai pasrah, dan kedua pahanya yang
tadinya menyilang, sekarang sudah mulai
kendor. Segera saja aku ambil kesempatan ini
untuk mengendorkan pertahanan Yanti. Setelah
aku berhasil membuka selangkangan Yanti …
alamak … aku langsung menelan ludah. memiaw
Yanti begitu indah dan subur ditumbuhi oleh
jembut-jembut yang masih lembut. Aku yakin
jembut-jembut ini tidak pernah sekalipun Yanti
cukur sejak pertama kali tumbuh, sehingga
masih tampak halus lembut.
Kucoba lagi membuka selangkangan Yanti lebih
lebar lagi, aku ingin sekali menemukan biji etil
Yanti. Aku merasa kesulitan menemukan biji etil
Yanti dengan mata terlanjang. Ketika aku
mencoba membuka bibir memiaw Yanti untuk
menemukan biji etilnya, Yanti langsung protes.
“Mas Anton … ojok mas … (Mas … jangan mas
…)” pinta Yanti. Aku semakin gemas dengan
nada penolakan pasrah Yanti.
Aku tidak mengubris permintaan Yanti, dan
semakin gencar bergerilya mencari biji etilnya.
Ternyata tidak susah menemukan biji etilnya
dengan mencari pakai tangan. Aku mainin biji
etilnya dengan gemas.
“Mas Anton … wes mas … uisin tenan aku …
(Mas Anton … udahan mas … malu banget aku)”
mohon Yanti.
Otakku sudah gelap, dan tetap memainkan biji
etilnya. Ternyata tidak perlu memakan waktu
lama untuk membuat memiaw Yanti basah.
Mungkin ini pertama kalinya Yanti merasakan
nafsu birahi alias horny. Dia seperti tidak tau
harus bagaimana menghadapi situasi saat itu.
Kedua tangan tidak lagi menutup wajahnya.
Tangan kanannya bersembunyi di balik bantal,
dan tangan kirinya meremas guling. Yanti
menggigit bibir bawahnya, seolah-olah menahan
geli. Tidak kudengar suara desahan dari mulut
Yanti, tapi nafasnya kini sudah berubah menjadi
memburu. Aku berasumsi bahwa Yanti masih
belum bisa atau belum terbiasa mendesah.
“Yanti … tempik mu wis buasah tenan saiki …
(Yanti … memiawmu dah basah banget
sekarang)” pujiku.
“Masss … masss … wes masss … Yanti mbok
opok’no … jarene mbek delok tok … saiki kok di
dolen tempik ku (Masss … masss … udahan
masss … diapain Yanti … katanya cuman mau liat
aja … sekarang kok dimainin memiawku)” protes
Yanti pasrah.
“Aku wes kesengsem karo tempikmu iki …
gemesi wae … tak elus-elus malah dadi buasah
… (Aku dah jatuh cinta ama memiawmu … bikin
gemes aja … dielus-elus malah jadi basah) … ”
kataku sambil bercanda.
Belum selesai aku melanjutkan kalimatku, Yanti
secara reflek tiba-tiba menjerit “Mas Antonnn …
massssss …”. Yanti orgasme di atas ranjangku.
Aku biarkan Yanti mengambil nafas dulu biar
sedikit tenang.
“Yanti sek tas mau kok bengok … loro tah? (Yanti
barusan aja kok teriak … sakit?” tanyaku pura-
pura bego.
“Ora loro mas … sek tas-an Yanti koyok
kesetrum … rasa’e koyok nang surgo … uenak
tenan … atiku saiki sek dek-dekan (Ngga sakit
mas … barusan Yanti kayak kena setrum …
rasanya seperti di surga … enak banget …
jantungku sekarang masih deg-degan)” jawab
Yanti.
Kini saatnya giliranku untuk orgasme. tongkolku
sudah sejak tadi tegang melihat kelakuan Yanti.
Pekerjaanku masih belum tuntas. Aku bingung
apa yang harus aku katakan ke Yanti bahwa aku
ingin menyodok tongkolku ini ke dalam
memiawnya yang masih perawan itu.
Akhirnya aku memutuskan untuk tidak bertanya
atau berkata apapun. Aku mencoba untuk
langsung main terobos saja. Aku kembali
membuka selangkangan Yanti, dan mencoba
mengarahkan tongkolku ke mulut memiawnya.
Yanti protes lagi.
“Mas Anton arep opo? (Mas Anton mau apa?)”
tanya Yanti heran.
“Oh … aku gelem kesetrum sisan … koyok Yanti
seng mau (Oh … aku juga mau kesetrum …
kayak Yanti tadi)” jawabku spontan.
“Lah … terus laopo manuk’e mas kate mlebu
nang tempikku? (Lho … trus kenapa burung mas
mau masuk ke memiawku?)” tanya Yanti heran.
Yanti benar-benar masih bau kencur di dalam
urusan seperti ini. Mungkin tidak ada orang yang
pernah mengajarinya teori tentang hubungan
seks atau biasanya disebut dengan hubungan
pasutri (pasangan suami istri).
“Aku baru iso kesetrum lek manukku mlebu
nang tempikmu (Aku baru bisa kesetrum kalo
burungku masuk ke memiawmu)” jawabku
gombal.
“Ojok mas … engkuk loro … jarene wong-wong
(Jangan mas … nanti sakit … katanya orang-
orang)” katanya.
“Ojok wedhi Yanti … tak mlebu pelan-pelan wae
… tak jamin ora loro (Jangan takut Yanti …
dimasukin pelan-pelan aja … dijamin ngga sakit)”
rayuku.
Yanti diam saja dan pasrah.
Aku kemudian mengarahkan ujung penisku ke
bibir vagina/memiaw Yanti. Yanti memejamkan
matanya, dan kini giginya kembali menggigit
bibir bawahnya.
Tangan kananku memegang pangkal penisku
agar batang tongkolku tegak dengan mantap,
dan tangan kiriku berusaha membuka bibir
vagina Yanti, supaya aku bisa melihat lubang
memiawnya. Karena Yanti masih perawan, ngga
mudah untuk menembuh pintu masuk gadis
perawan. Hal ini sudah aku alami sekali dengan
pacar lamaku. Aku ngga ingin melihat Yanti
nantinya menangis seperti yang dialami oleh
mantan pacarku yang dulu, setelah aku paksa
masuk batang tongkolku ke lubang memiawnya
yang masih perawan.
Pertama-tama aku basahi terlebih dahulu ujung
penisku dengan air ludahku biar menjadi
pelumas sementara, kemudian aku dorong
masuk ujung penisku kira-kira sedalam 2 centi.
Setelah berhasil masuk kira-kira kedalaman 2
centi, aku diam sejenak, kulihat Yanti sedikit
meringis menahan perih.
“Perih Yanti?” tanyaku iba.
“Rodok perih mas (Rada perih dikit mas)” jawab
Yanti yang kini matanya kembali terbuka
memandangku.
“Tak mlebu alon-alon yah … lek perih
ngomong’o … ojok meneng ae … (Aku masukin
pelan-pelan yah … kalo perih bilang aja … jangan
diam aja) …” suruhku.
Suasana kamarku makin panas saja rasanya.
Aku lepas bajuku, sehingga kini aku sudah
terlanjang bebas. Kondisi Yanti masih lengkap,
hanya roknya saja yang terbuka.
Batang penisku yang dari tadi sudah masuk 2
centi itu masih tampak keras saja. Aku kini tidak
lagi memegangi batang tongkolku, karena
dengan menancap 2 centi saja di dalam memiaw
Yanti dalam kondisi amat tegang, mudah
untukku menembus semua batang tongkolku.
Tapi kini aku harus memasang taktik biar Yanti
nantinya juga menikmati. Perih adalah maklum
untuk gadis perawan yang sedang diperawani.
Kedua tanganku kini menahan tubuhku. Aku
membungkuk dan menatapi wajah Yanti yang
cantik. Yanti masih terlihat sedikit merintih karena
rasa pedih yang dialaminya.
Aku menekan lagi batang penisku, masuk sedikit,
kira-kira setangah sampai 1 centi. Yanti meringis
lagi.
Aku mainkan pinggulku maju dan mundur agar
batang penisku maju mundur di dalam liang
memiaw Yanti. Batang tongkolku cuman mentok
sampai kedalaman kira-kira 3 centi. Tapi aku
terus bersabar sampai nanti tiba nanti saatnya
yang tepat. Aku teruskan irama maju mundur
batang tongkolku di dalam memiaw Yanti.
Perlahan-lahan suara rintihan Yanti semakin
memudar, dan wajah Yanti tidak lagi merintih.
Ujung penisku terasa basah oleh cairan yang
kental. Aku yakin cairan ini bukan air liurku yang
tadi, melainkan cairan murni dari memiaw Yanti.
Sekarang batang tongkolku bisa masuk
perlahan-lahan lebih dalam lagi, dari 3 centi maju
menjadi 4 centi, kemudian dari 4 centi masuk
lebih dalam lagi menjadi 6 centi.
“Sek perih Yanti? (Masih pedih Yanti?)” tanyaku.
Yanti menggeleng-gelengkan kepala pertanda
tidak lagi sakit.
Napas Yanti kini kembali memburu dan
terengah-engah, dan tidak lagi menggigit bibir
bawahnya. Tangan kanannya meremas sarung
ranjangku dan tangan kirinya meremas
selimutku.
Goyangan pinggulku aku percepat sedikit demi
sedikit, memberikan sensasi erotis terhadap
memiaw Yanti. Dalam sekejap kini aku bisa
membuat batang tongkolku kini terbenam
semuanya di dalam lubang kenikmatan milik
Yanti.
“Sek perih Yanti? (Masih pedih Yanti?)” tanyaku
sekali lagi. Yanti kali ini tersenyum malu sambil
menggeleng-gelengkan kepalanya lagi.
“Tempik mu wis uenak maneh? (memiawmu
dah enakan lagi?)” tanyaku bercanda. Yanti
mengangguk.
“Yanti … buka en klambimu … mosok ga kroso
panas tah? … buka en ae cekno adem (Yanti …
buka dong bajumu … masa ngga merasa panas?
… buka aja biar sejuk)” kataku. Aku sebenarnya
ingin memperawani Yanti dalam keadaan benar-
benar terlanjang.
Nanti menurut saja, dan kemudian dia melepas
kaos bersama BH-nya, dan masih membiarkan
roknya, karena batang tongkolku masih sibuk
menari-nari di dalam lubang memiawnya.
Tampak payudara Yanti yang merekah dengan
ukuran 32C menurut tafsiranku. Tidak terlalu
besar, dan juga tidak terlalu kecil. Pas untuk
ukuranku. Puting susunya berwarna coklat
gelap. Typical atau khas payudara wanita asli
Indonesia. Melihat puting susunya yang
menantang seperti itu, membuatku gemas
rasanya. Aku mencubit sambil memelintir puting
susunya, dan Yanti protes atas tindakanku
tersebut.
“Masss … loro masss … (Masss … sakit masss …)
” protes Yanti lembut. Aku pun kemudian
senyum padanya, dan langsung menghentikan
tindakanku tersebut.
Aku merasa sudah lama aku menggenjot tubuh
Yanti siang itu. Tapi aku masih belum
menampakkan tanda-tanda akan datangnya
klimaksku. Aku sejak tadi berpikir antara iya atau
tidak nantinya aku memuncratkan air maniku ke
dalam memiawnya. Sejujurnya aku
berkeinginan hati untuk menyirami memiaw
Yanti dengan air maniku, tapi aku juga rada
kuatir akan konsekwensinya bila terjadi apa-apa
dengannya, alias hamil nantinya.
Nafas Yanti semakin memburu saja, tapi
wajahnya tampak makin gelap saja. Darah Yanti
seakan-akan memanas dan terkumpul di atas
kepalanya. Kali ini Yanti tak kuat untuk menahan
genjotan-genjotan dan gesekan-gesekan nikmat
yang diberikan oleh batang tongkolku. Mulut
Yanti kini tak terkontrol. Untuk pertama kalinya
mulut Yanti mendesah atau merintih basah.
“Uhh … ohhh … masss … masss … kerih (geli)
masss …” rintih Yanti.
“Aku kerih sisan Yanti … Yanti wis arep ngoyo?
(Aku geli juga Yanti … Yanti sudah mau pipis?)”
tanyaku penasaran melihatnya sudah seperti
cacing kepanasan. Leher Yanti sudah mulai
berkeringat. Sekujur badanku juga tidak kalah
keringatnya. Semakin berkeringat, semakin seru
saja aku menggagahi tubuh Yanti.
Seperti tau apa yang aku maksud dengan kata
‘pipis’, Yanti pun menganggukkan kepalanya.
Yanti sudah akan memasuki tahap orgasme
yang kedua kalinya.
Tidak sampai hitungan 2 menit, Yanti tiba-tiba
memiawik sambil tangan kanannya meremas
biceps-ku.
“Masss … ampunnn masss … kerih mbanget …
arep ngoyo ketok’e … aahhh … (Masss …
ampunnn masss … geli banget … ingin pipis
rasanya … ahhh …)” pekik Yanti dengan tangan
kanannya yang masih meremas biceps-ku.
Tidak salah lagi, Yanti telah mencapai orgasme
keduanya. memiawnya semakin basah saja. Aku
berhenti menggenjotnya dan mendiamkan
batang tongkolku tertanam dalam-dalam di
dalam memiawnya yang basah nan hangat.
Kurasakan setiap denyutan daging-daging di
dalam memiaw Yanti.
Setelah buruan nafasnya mereda, aku cabut
batang tongkolku keluar dengan maksud untuk
melepas roknya yang masih menempel di
tubuhnya. Aku ingin melihatnya bugil tanpa
busana apapun. Saat kutarik batang tongkolku,
aku melihat sedikit bercak darah di tengah-
tengah batang tongkolku, dipangkal tongkolku,
dan di daerah bulu jembutku. Kuperawani sudah
Yanti, dan ini adalah bukti keperawanan Yanti
yang telah aku renggut darinya.
Yanti kini bugil tanpa selembar kain apapun. Aku
kembali memasukkan batang tongkolku ke
dalam memiawnya. Masih terasa basah liang
memiaw Yanti.
“Yanti … saiki aku sing kate ngoyo … siap-siap yo
(Yanti … sekarang aku yang harus pipis … siap-
siap yah)” kataku.
Yanti seperti tidak mengerti apa yang aku
katakan, tapi kepala mengangguk saja (hanya
menurut saja). Aku kembali menggenjoti liang
memiawnya lebih cepat dari biasanya.
Kupercepat setiap hentakan-hentakan, dan bisa
kurasakan kenikmatan gesekan-gesekan
terhadap daging-daging di dalam memiaw Yanti.
Memberikan sensasi yang luar biasa dasyatnya.
Wajah Yanti kembali memerah, dan kini
nafasnya kembali memburu lagi. Kali ini Yanti
sudah tidak malu-malu lagi untuk mendesah dan
merintih nikmatnya bercinta.
“Yanti … kepenak temenan nyenuk karo Yanti …
tempik-mu gurih tenan (Yanti … enak/senang
banget ngent*t ama kamu … memiawmu gurih
banget)” pujiku sambil terus menggenjot
memiawnya.
“Masss Anton … masss … aku arep ngoyo
maneh … ahhh masss … (Masss Anton … masss
… aku pengen pipis lagi … ahhh masss …)” desah
Yanti.
“Iku jenenge arep teko Yanti … ora arep ngoyo
(Itu namanya mau datang Yanti … bukan mau
pipis)” jawabku sambil tertawa renyah dan Yanti
pun tersenyum bingung. Mungkin baginya istilah
‘datang’ masih terasa aneh.
Sekujur tubuhku berkeringat dan tergolong
basah kuyup. Sudah berapa tetes keringatku
yang jatuh di perut dan dada Yanti. Posisiku
menyetubuhinya masih tetap berada di atas.
Sejak tadi aku belum menyuruhnya merubah
posisi. Mungkin bagiku lebih nyaman untuk Yanti
digagahi dengan posisiku di atas. Yanti masih
termasuk bau kencur dalam masalah beginian.
Batang tongkolku makin lama terasa makin
mengeras. Lahar mani di dalamnya ingin segera
meletup keluar. Aku sudah tidak mampu untuk
berpikir dengan akal sehat kembali. Otot-otot
disekujur batang tongkolku sudah tidak mampu
lagi membentung lahar panas yang ingin segera
menyembur keluar. Aku sudah tidak perduli lagi
dengan rasa kuatirku tadi. Aku hanya ingin
menyemburkan lahar panas ini secepat
mungkin. Isi otakku sudah gelap rasanya.
“Yanti … aku arep teko iki … ora iso di tahan
maneh … saiki Yanti … saikiii … Yantiii … (Yanti …
aku mau datang nih … ngga bisa ditahan lagi …
sekarang Yanti … sekaranggg … Yantiii)” aku
mengerang keras diiringi oleh semburan lahar
panas dari batang tongkolku yang mengisi
semua liang memiaw Yanti. Semburan panas
dari batang tongkolku mendapat sambutan
hangat dari Yanti. Aku memeluk erat tubuh Yanti,
dan Yanti membalas memelukku sambil
memiawik memanggil namaku. Aku hanya
dapat menduga bila Yanti mendapatkan
orgasme-nya yang ketiga kali. Batang tongkolku
berkali-kali memuntahkan lahar panasnya di
dalam lubang kenikmatan milik Yanti. Mungkin
sekarang liang memiaw Yanti penuh sesak oleh
lahar maniku.
Aku diam sejenak, mengatur nafasku kembali.
Tubuhku masih menindih tubuh Yanti. Kini
semua keringatku bersatu dengan keringat Yanti.
Aku memeluk Yanti, sambil menciumi lehernya.
Batang tongkolku masih menancap di dalam
memiaw Yanti. Aku masih belum ingin
mencabutnya sampai nanti batang tongkolku
sudah mulai meloyo.
“Yanti … terima kasih … ” bisikku dalam bahasa
Indo. Yanti hanya diam saja. Tak lama
kemudian, aku mendengar Yanti menyedot
ingusnya. Ternyata mata Yanti tampak berkaca-
kaca. Aku menduga kuat Yanti ingin sekali
menangis, dan tampak penyesalan di wajahnya.
Melihat tingkah laku Yanti, aku berusaha
memberinya comfort (kenyamanan), dan
rayuan agar membuatnya lega atau tidak sedih
kembali. Aku mengatakan kepada Yanti bahwa
ini adalah rahasia kita berdua, dan mengatakan
bahwa aku sayang kepadanya. Aku berjanji
padanya bahwa ini adalah untuk pertama dan
terakhir kalinya aku menyetubuhinya. Yanti
begitu menurut dengan kata-kataku dengan
polos dan lugu.
Aku sedikit ada rasa penyesalan telah
memperawani gadis cantik dan imut seperti
Yanti. Aku meminta maaf kepadanya karena aku
khilaf dan tidak dapat menahan keinginanku itu
karena sejak lama aku memantau dan melihat
sosok dirinya dari kejauhan. Begitu dekat
dengannya, aku tidak mampu lagi menahan
nafsu birahiku.
Selama liburan musim panas tersebut, aku
sering sekali mencuri-curi waktu dan tempat
untuk bersetubuh dengan Yanti. Sejak pertama
kali memperawaninya, agak susah untukku
untuk menggagahi tubuh nikmatnya lagi. Yanti
selalu menolak dengan alasan takut sakit atau apa
gitu. Tapi dasar lelaki yang penuh dengan akal
muslihat, aku tetap berhasil menikmati tubuhnya
dan memiawnya berkali-kali.
Untung saja, makin lama Yanti semakin
menyukai berhubungan badan denganku.
Banyak teknik yang aku ajarkan kepadanya, dari
BJ, HJ, dan posisi bercinta yang lain (doggy style,
woman on top, gaya menyamping, dll). Aku
kadang meminta Yanti memberikan BJ atau HJ di
ruang keluarga sambil aku menonton TV disaat
tidak ada orang di rumah.
Sejak saat itu pula, aku selalu memakai condom
untuk mencegah sesuatu yang tidak diinginkan.
Aku tidak ingin aib ini sampai tercium oleh
anggota keluargaku yang lain.
Sudah sering kali aku bermain cinta dengan Yanti
di liburan musim panas ini. Aku sempat
mengganti tanggal pesawatku kembali ke
Melbourne agar aku bisa lebih lama di Indonesia.
Aku kembali ke Melbourne untuk melanjutkan
studiku lagi sekitar akhir Februari. Semenjak
kembali ke Melbourne lagi, aku kangen dengan
Yanti, dan rindu bercinta dengannya. Kadang-
kadang aku menelpon rumah di waktu siang hari
(waktu Indonesia) untuk mengobrol dengan
Yanti. Dan seputar obrolan kami adalah tentang
‘gituan’ aja.
Studiku tinggal 1 semester lagi. Aku sudah tidak
sabar untuk menyelesaikan studiku ini, agar aku
bisa kembali ke Indonesia bertemu kembali
dengan Yanti. Sebenarnya aku sendiri tidak tau
bagaimana masa depanku dengan Yanti. Tapi
aku berkeinginan untuk tetap tinggal di Malang,
paling tidak melanjutkan atau bekerja di kantor
perusahaan papa. Dengan ini aku bisa senantiasa
dekat dengan Yanti. Biarlah nanti waktu yang
akan menentukan nasibku dengan Yanti.


Adult | GO HOME | Exit
1/994
U-ON

inc Powered by Xtgem.com